*nirmala*
Manusia memang
telah lama gagal. Gagal terhadap alam yang selama ini telah menaungi dan
melindunginya.
Malam ini, malam
kesekian kalinya diskusi bulanan diadakan di komunitas kecilku. Diskusi kecil
sekadar mempertemukan wajah-wajah beserta isi pikirannya dalam sebuah forum
yang berbentuk. Aku, termasuk beberapa bagian kecil yang berakhir dengan
cangkir kopi yang mulai dingin, menikmati sesapan terakhir dari cerita dan
rayuan malam. Ku pandangi bale-bale tempat kami berkumpul tadi, tak ada yang
istimewa, hanya gelaran tikar kumal dari plastik terpal yang menjadikan
kebersamaan tadi lebih membumi. Aku sengaja pindah ke sudut lain setelah tadi
sedikit membantu mereka yang bertugas menyiapkan dan membereskan forum *sekedar
menyiapkan dan menggelar tikar*, dan kukagumi malam dengan caraku. Namun ada
yang menggelitik mataku, seolah-olah ia tengah menyapaku, sekadar ingin aku
mendengarkan ceritanya. Paper tadi, lembaran hvs yang dibagikan saat diskusi, ternyata
masih berserakan ditempatnya, diam membentuk abstrak. Kutaksir ada belasan
lembar disana. Kuputuskan untuk memungutnya dan entah akan ‘kubagaimanakan’
nasib mereka ini. Apakah akan kujilid dengan alat jahitku lalu kujadikan
halaman belakangnya alat untuk membunuh waktu, media coretan-coretan kecilku,
seperti sebelumnya? Atau mungkin kujadikan lipatan origami hingga membentuk yang
lebih lipatan-lipatan oritsuru favoritku? Yang pasti aku akan berpikir ulang
untuk membuangnya begitu saja tanpa memanfaatkan ulang mereka.
Tiba-tiba aku teringat
rumahku, dengan pohon-pohonnya yang menjulang tinggi. Sejuk, hijau, dengan
dedaunannya yang rindang, membuatku selalu betah bercengkerama dengan matahari
pagi. Itu bagian dari kisah ‘aku dan petualangan masa kecilku’, belasan tahun
lalu yang telah lama kutinggalkan. Sekarang hanya bagian dari cerita yang
mungkin kadang menjadi khayalanku. Setiap kali aku rindu, kusempatkan mencari
kisahnya yang mulai pudar dimakan waktu. Tak ada lagi warna hijau yang
menyejukkan, tak ada lagi hangat pelukan dedaunannya yang rindang. Dan aku pun
rindu ketika ‘si jangkung’ melindungiku dari sinar matahari yang menajam
seiring siang yang membuntuti.
Ketika malam Ibu
mendongengkan cerita dari buku sejuta dongeng kesayanganku, si aku kecil
bertanya “ibu, kenapa pohon-pohon kita harus ditebang?”. Ibu tersenyum dan
berkata “mereka membutuhkannya nak, untuk membuat rumah, dan juga buku dongeng
ini”. Awalnya tak kumengerti kenapa pohon-pohon kami bisa menjadi buku
dongengku?.
Kertas,
belakangan kutahu dari mana mereka berasal. Kayu-kayu itu sumber utama bagi
para industriawan untuk memproduksi lembaran-lembaran kertas tadi.
Aku tak bisa
membayangkan ketika satu ton kertas ternyata membutuhkan 4 hektar hutan*.
Entahlah sudah berapa banyak kertas yang aku, dia, dan mereka gunakan? Sudah berapa
jutaan hektar yang hilang untuk memenuhi setiap lembaran-lembaran kertas
disetiap jengkal bumi ini?. Aku tak tahu persis, begitu juga dengan engkau,
dia, mereka, dan kalian, mungkin.
Aku miris, ketika
teringat hutanku yang damai dan kurindu. Ketika kuingat berapa banyak kertas
yang terbuang setiap detiknya tanpa mendaur ulangnya lagi? Aku ingat ketika ada
banyak brosur dan kertas promosi yang tercecer di jalanan, aku ingat ketika aku
mencetak kartu-kartu undangan untuk kawan-kawanku yang mungkin, dan lebih
banyak, kertas itu berakhir di tempat sampah. Aku teringat malam ini, pada ceceran
kertas yang dianggap sampah, useless, setelah forum tadi.
Lembaran ditanganku
seperti hidup dan berkata; “save your earth, save me”.
Oh, bumiku yang
semakin menua; “maaf aku tak bisa menjaga engkau seperti halnya engkau
menjagaku”.